syariah@uinkhas.ac.id -

GELAR DISKUSI ILMIAH, LRCD ADAKAN BEDAH BUKU PROBLEM HUKUMAN MATI KASUS KORUPSI

Home >Berita >GELAR DISKUSI ILMIAH, LRCD ADAKAN BEDAH BUKU PROBLEM HUKUMAN MATI KASUS KORUPSI
Diposting : Jumat, 28 Oct 2022, 15:43:11 | Dilihat : 560 kali
GELAR DISKUSI ILMIAH, LRCD ADAKAN BEDAH BUKU PROBLEM HUKUMAN MATI KASUS KORUPSI


Media Center – Undang-undang mengenai vonis hukuman mati bagi pelaku Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) banyak dikaji oleh para akademisi. Karena sampai saat ini belum ada hakim yang menjatuhkan hukuman mati kepada para koruptor. Nanda Agwin Apriliansa menegaskan bahwa kasus korupsi ini adalah kejahatan yang luar biasa karena merugikan banyak pihak.

“Korupsi adalah kejahatan yang luar biasa karena banyak pihak yang ikut dirugikan. Seperti harga jasa dan pelayanan publik yang semakin mahal, masyarakat yang semakin miskin, atau terbatasnya fasilitas pendidikan dan kesehatan,” tegas Nanda yang juga Ketua Panitia Book Review “Problem Hukuman Mati Kasus Korupsi”.

Acara yang diinisiasi oleh Law Research Debate Community (LRDC) Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri Kiai Haji Achmad Shiddiq (UIN KHAS) Jember berlangsung pada Sabtu (22/10) di Stuff Coffe Perum Pesona Surya Milenia. Turut hadir Prof Dr. M. Noor Harisuddin, M. Fil. I Dekan Fakultas Syariah UIN KHAS Jember, Moh. Abd. Rauf, S. H., M. H, Penulis Buku “Problem Hukuman Mati Kasus Korupsi”, dan Basuki Kurniawan, S. H., M. H sebagai pembedah.

Moh. Abd. Rauf, S. H., M. H menyampaikan bahwa buku ini berisi tentang gambaran kasus korupsi di Indonesia. Menurutnya, problem korupsi saat ini sangat mengganggu efisiensi negara. Karena hingga saat ini belum ada yang melaksanakan vonis hukum pidana mati bagi para koruptor. Padahal secara undang-undang sudah tertuang dalam Pasal 2 Ayat 2 UU Tipikor (Tindak Pidana Korupsi).

“Sampai saat ini belum ada koruptor dihukum mati, padahal dalam undang-undang sudah ada,” jelas Rauf.

Lebih lanjut, Rauf memaparkan setidaknya terdapat problem fundamental mengenai tarik ulur pemberlakuan hukuman mati dalam kasus korupsi di Indonesia. Pertama, hukuman mati sering dibenturkan dengan eksistensi Hak Asasi Manusia (HAM). Kedua, penegak hukum masih sering tertawan dalam problem yuridis terutama pada pasal 2 ayat (2) UU Tipikor.

Basuki Kurniawan, S. H., M. H, sebagai pembedah memaparkan beberapa catatan untuk buku “Problem Hukuman Mati Kasus Korupsi”. Pertama dari segi penulisan, karya ilmiah tidak boleh diawali di, dengan, dan, ketika di awal paragraf. Kemudian referensi dalam karya ilmiah harus dari sumber asli atau the first resources karena dalam suatu latar belakang harus ada das sollen dan das sein.

“Karya ilmiah tidak boleh diawali dengan kata sambung ketika di awal paragraf dan referensinya harus first resources karena di latar belakang harus ada das sollen dan das sein,” tutur Basuki.

Sementara itu, dari segi substansi Basuki juga memberikan masukan yaitu rumusan masalah tidak menjawab urgensi terkait pidana mati. Kemudian teori yang diterangkan tidak berhubungan dengan rumusan masalah. Dalam penelitian hukum, pendekatan peraturan perundang-undangan menggunakan pendekatan konseptual.

Kembali dipaparkan oleh Basuki, bahwa pidana mati pada koruptor dilaksanakan sesuai putusan Hakim Mahkamah Konstitusi (MK). Namun, problem yang terjadi saat ini adalah Aswanto sebagai Hakim MK yang mendadak diberhentikan karena kerap menolak produk dari DPR.

“Kasus Aswanto ditarik jadi hakim MK karena Aswanto kerap kali tidak mendukung niat politik dari DPR, kini jabatannya dicabut dan diganti orang lain,” ujar Kabid Advokasi, Hukum Adpaki (Asosiasi Dosen Pendidikan Anti Korupsi). 

Hal ini memunculkan asumsi, dalam undang-undang masalah korupsi ke depan tidak akan diberlakukan hukuman mati. Karena teori dalam politik hukum ialah low as a tool of social engineering yaitu hukum sebagai alat maka pembentuknya tidak akan membuat untuk merugikan dirinya.

“Jadi, pemikiran anggota DPR adalah jika saya kasih hukuman mati sama saja memberikan hukuman mati kepada dirinya sendiri,” tambahnya lagi.

Terakhir, dia juga memberikan masukan bahwa terobosan hukum perlu dilakukan oleh praktisi hukum dalam bentuk doktrin yang sesuai dengan kultur budaya bangsa Indonesia.

“Apa yang diterangkan mungkin terkait masalah teori keadilan, kemanfaatan, atau kepastian hukum. Mungkin ada teori lain yang bisa diterapkan yaitu teori progresif,” pungkas Basuki.

Reporter : Iin Sundosia

Editor :  Arinal Haq

Berita Terbaru

Tumbuhkan Jiwa Kepemimpinan Ideal, Pushaga Gelar Leadership dan Problem Solving
23 Nov 2024By syariah
Tingkatan Mutu Mahasiswa di Bidang Protokol, Laboratorium Fasya Adakan Pelatihan Keprotokolan dan Public Speaking
11 Nov 2024By syariah
Komitmen Bentuk Mahasiswa Bermartabat : Pushaga Gelar Rekrutmen Anggota Angkatan Pertama tahun 2024
10 Nov 2024By syariah

Agenda

Informasi Terbaru

Belum ada Informasi Terbaru
;